Jumat, 30 Maret 2012

rindu tak bermuara

kerinduan datang dengan gelombang mencakar nirwana,
menerjang dengan hantaman berlipat ganda
saya membatu dalam keambiguan
saya berpikir saya mampu, saya hebat, saya pernah merasakan yang lebih dari ini.
jutaan belati viskositas rendah menrobek ari-ariku
terik mentari telah membuatku lebam
tidak ada kegersangan yang berkesudahan
kerikil super kecil berkelana dibalik kelopak mata
merusak arah pandang yang sudah tidak utuh
bising dalam genderang bisu,
riuh dalam retina semu,
perih dan sunyi yang hanya saya pertahankan
sungguh sekali saya terbeban dalam kekinian
bersama rindu yang entah dimana rimbanya
di ujung laut?
di dasar samudra?
atau bahkan di sela jemari kaki?
aku merasakan!
cukup bisa dan mampu menghadapi kekosongan
dalam rindu.

tampuk kuasa kita, bukan kamu!

Keindahan semakin banyak dilantangkan.

Kesejukan yang tertahan hanya sampai ujung mulut

menjadi gumam.

“Tindakan bodoh macam apa lagi ini?” aku berteriak.

 

Menjamahi karya dengan pemikiran yang memaksa diubah menuju public.

Jika kau terus memaksakan itu, kenapa tidak kau hidangkan saja kopi panas itu di tudung saji kotormu.

Tidak kah cukup hanya kau yang merasakan keruwetan itu?

Terus saja di depan!

 

Logika picik membungkus semua kegamangan benak renta kekinian.

Rasakanlah kerasnya dinding pemisah itu,

Tataplah betapa tingginya tebing yang ada dihadapanmu.

Itu bukan penghalang yang sengaja aku buat.

Itu adalah jejak yang kau buat sendiri dalam gelap.

*

Aku melihat matamu memicing bisu.

Seolah sumpah serapah keluar dari sudut mata subammu.

Dan seperti apa yang terpantul di retinamu,

Aku tertawa kencang melihat gurauan seriusmu.

Meski kau hanya melirik dengan terbeliak didepanku.

 

Maka tetaplah samakan langkah kita, tetap disampingku.

Bertepuk bahu bersamaku, itu indah.

Kita beriring menapaki kisah tampuk kuasa.