Satu dari beberapa kepastian menerjang dalam hening. Punah kekal, fana waktu menerawangkan kegelisahanku. Tidak cukup rasanya kalau terus tertegun menghendus bayang. Waktu betul-betul tidak sedang dalam candaan. Ia bergerak teratur membawa sebuah keranda menyusuri fajar yang berganti matahari, matahari berganti senja, dan senja yang berganti bulan menata bintang yang berserakan. Terus saja begitu hingga datangnya suatu kefanaan.
Dini hari itu ku basuh wajah dengan beberapa kejernihan air terkepal di muara jari. Seperti yang sudah-sudah, aku berharap ada kesejukan menghampiri kala itu. Namun, tidakkah ada partikel kebosanan yang bersemayan di balik kejernihan? Tidakkah setiap tetes yang membelai memberi kelegaan kepadaku? Aku terjebak. Ini masih tidak bisa ku percaya. Perhelatan kecil di suatu fajar membuatku tampak usang. Kering, gersang, gundah, dan semua rasa “ketidakbaikan” berkerumun di tepian malamku.
Sehebat itukah tuhan bermain dalam teka-teki kehidupan? Kekuasaannya meluluhlantahkan kuasaku. Ini hidup, itu hidup. Hidup yang tetap harus direngkuh walau dengan riuh ringkiknya. Dibalik gemulai tangan ini, aku mencemaskan jari yang tidak bisa menari lagi. Yang artinya hidupku berada di titik nadir paling ujung. Senyum yang selalu aku pandang di setiap sudut bibir orang-orang di sekitarku tidak akan ku reguk lagi kesegarannya. Aku masih menatap kekosongan dibalik jemari yang menonjolkan urat lembut membiru.
Segenap kecemasan ini hadir diantara kerut halus yang memantul di wajah seorang ibu tua yang lelah. Ibu tua yang mengais bocah nakal sehabis memadamkan obat anti bakar di sudut rumah. Bocah yang menjadi darah terakhir ibu setelahku.
Maafkan. Janji yang telah ku sebut di ruang itu untuk kali ini mungkin masih ingin berbaring manja di beranda kontrakan. Sejenak duduk bersama di pangkuan fajar bersama kopi dini hari.
Tenanglah. Tetap tenang hey wahai. Ini cara yang paling pahit dalam perjalananku. Cara yang mungkin menyulitkan namun bersegera akan ku susul waktu untuk berdiri di puncak tertinggi sana. Siapkan badanmu yang renta itu ibu, kelak dua tiga tahun mendatang kita harus siap berseragam kain ihrom. Bersama suci mimpi kita mengelilingi bangunan tua yang telah menyesakan banyak dada itu.
Dini hari itu ku basuh wajah dengan beberapa kejernihan air terkepal di muara jari. Seperti yang sudah-sudah, aku berharap ada kesejukan menghampiri kala itu. Namun, tidakkah ada partikel kebosanan yang bersemayan di balik kejernihan? Tidakkah setiap tetes yang membelai memberi kelegaan kepadaku? Aku terjebak. Ini masih tidak bisa ku percaya. Perhelatan kecil di suatu fajar membuatku tampak usang. Kering, gersang, gundah, dan semua rasa “ketidakbaikan” berkerumun di tepian malamku.
Sehebat itukah tuhan bermain dalam teka-teki kehidupan? Kekuasaannya meluluhlantahkan kuasaku. Ini hidup, itu hidup. Hidup yang tetap harus direngkuh walau dengan riuh ringkiknya. Dibalik gemulai tangan ini, aku mencemaskan jari yang tidak bisa menari lagi. Yang artinya hidupku berada di titik nadir paling ujung. Senyum yang selalu aku pandang di setiap sudut bibir orang-orang di sekitarku tidak akan ku reguk lagi kesegarannya. Aku masih menatap kekosongan dibalik jemari yang menonjolkan urat lembut membiru.
Segenap kecemasan ini hadir diantara kerut halus yang memantul di wajah seorang ibu tua yang lelah. Ibu tua yang mengais bocah nakal sehabis memadamkan obat anti bakar di sudut rumah. Bocah yang menjadi darah terakhir ibu setelahku.
Maafkan. Janji yang telah ku sebut di ruang itu untuk kali ini mungkin masih ingin berbaring manja di beranda kontrakan. Sejenak duduk bersama di pangkuan fajar bersama kopi dini hari.
Tenanglah. Tetap tenang hey wahai. Ini cara yang paling pahit dalam perjalananku. Cara yang mungkin menyulitkan namun bersegera akan ku susul waktu untuk berdiri di puncak tertinggi sana. Siapkan badanmu yang renta itu ibu, kelak dua tiga tahun mendatang kita harus siap berseragam kain ihrom. Bersama suci mimpi kita mengelilingi bangunan tua yang telah menyesakan banyak dada itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar