Jumat, 13 Mei 2011

BIOGRAFI KANG IBING


 Profil Rd. Aang Kusmayatna Kusumadinata (Kang Ibing)
Pria kelahiran Sumedang bulan Juli 1946 yang beristerikan Ny. Nieke ini telah dikarunia 3 (tiga) orang anak masing-masing Kusmadika, Kusmandana dan Diane.
Kariernya di dunia seni berjalan mulus. Kang Ibing sendiri tidak pernah mimpi untuk jadi orang terkenal apalagi bintang film.
Kariernya dimulai ketika menjadi Pembawa Acara Obrolan Rineh dalam arti santai secara kocak dan sarat kritik di Radio Mara Bandung. Gaya bicaranya yang berintonasi khas Sunda melekat dalam Profil Kang Ibing yang merupakan nama bekennya. Nama asli yang konon masih teureuh menak Sunda yakni Rd. Aang Kusmayatna Kusumadinata seperti hilang diganti Kang Ibing yang identik dengan sosok Si Kabayan yang lugu tetapi cerdik.
Ketika masih duduk di Fakultas Sastera Unpad Jurusan Sastra Rusia, Kang Ibing pernah menjabat sebagai Ketua Kesenian Daya Mahasiswa Sunda (DAMAS), Penasihat Departemen Kesenian Unpad dan pernah juga menjadi Asisten Dosen di Fakultas Sastera Unpad.
Pada tahun 1970 bersama-sama dengan Aom Kusman dan Suryana Fatah membentuk Group Lawak De Kabayan. Pada tahun 1975 untuk pertama kalinya main film Si Kabayan arahan Sutradara Tutty Suprapto. Pilihan Tuty jatuh ke Ibing konon tertarik saat mendengarkan gaya humornya di Radio Mara tersebut.
Selain main film, Ibing juga sudah memerankan Bintang Iklan dari beberapa produk. Saat ini Kang Ibing lebih dikenal sebagai dai yang lumayan padat juga jadwalnya.
Putera pasangan Rd. Suyatna Kusumahdinata dan Rd. Kusdiyah ini juga pernah menjadi Direktur salah satu bioskop di Kota Bandung.

Senang Memelihara Domba
Tempat tinggalnya di Kompleks Pandan Wangi Ciwastra Bandung dilengkapi dengan Kandang Domba. Karena memelihara domba adalah salah satu kegemarannya. Untuk hobinya yang satu ini kang Ibing tidak segan-segan mengambil rumput sendiri di pematang sawah yang mengelilingi sekitar Komplek Perumahannya.
Untuk mencari rumahnya tidaklah sulit. Tukang Becak yang mangkal di sekitar Komplek Perumahan tempat tinggalnya apabila ditanya, akan menunjukkan bahwa rumah Kang Ibing itu di depan rumahnya ada kandang domba.
Mengenai kegiatannya saat ini sebagai “dai” yang jadwalnya cukup padat untuk memberikan siraman rohani baik di mesjid yang ada di lingkungan pedesaan, kota, perkantoran maupun kampus di wilayah Indonesia sampai ke Timor-Timur bahkan ke Australia. Tema dakwahnya mudah dicerna, karena menyangkut masalah-masalah keseharian serta dibawakan dengan gaya humor yang segar.
Ketika ditanya mengenai kariernya yang beragam serta berhasilnya didalam menyelesaikan Sekolah, Kang Ibing menyatakan bahwa semua itu tidak lepas dari doa yang tulus dari kedua orang tuanya. Ungkapan “Indung Tunggul Rahayu, Bapa Tangkal Darajat” senantiasa melekat di hatinya. Dan itu dijadikan pedoman hidup keluarganya serta tidak segan-segan memasang semboyan itu di ruangan tengah keluarganya.
Generasi muda Sunda sekarang menurut Kang Ibing, pada umumnya sudah kurang mengenal jati diri Ki Sunda. Basa teh Ciciren Bangsa dalam arti Bahasa itu menunjukkan Bangsa. Refleksinya terlihat dari banyaknya anak muda Tatar Sunda dewasa ini yang malu berbahasa Sunda. Hal ini disebabkan tidak adanya infilterisaasi budaya luar yang masuk, sehingga menyebabkan terjadinya pergeseran nilai tersebut.
Pendapatnya mengenai manusia Sunda yang ” Nyunda” adalah yang mengetahui sekaligus menghargai Kebudayaan Sunda serta “Sarakannana” dalam arti tempatnya.. Sehingga tumbuh rasa kasundaan bagi orang Sunda.
Demikian Inohong Sunda Kang Ibing yang lekat dengan sosok Tokoh Legendaris Cerita Rakyat Pasundan Si Kabayan yang lugu tetapi cerdik.
Selintas Karir dan Kehidupan Kang Ibing
Kang Ibing bersama De'Kabayan
De Kabayan adalah salah satu grup lawakasal kota kembang yang terdiri atas 5 orang personil, yakni Aom Kusman, Kang Ibing, Suryana Fatah, Wawa Sofyan dan Mang Ujang. De'Kabayan muncul pertama kali pada kisaran tahun 1976, tepatnya setelah dibentuknya De'Kabayan saat Kang Ibing baru saja beres menggarap film Si Kabayan bersama Lenny Marlina (pemeran Nyi Iteung) dan Sofyan sharna (sang Sutradara) pada tahun 1975.
Setiap personil memiliki ciri khas masing-masing dalam memerankan perannya. Kang Maman alias kang Ibing mewakili urang Sunda bersosok lugu, saking lugunya mampu membuat mangkel lawan bicara. Aom Kusman adalah sosok "playmaker", pengatur yang handal alur pembicaraan yang biasanya menjadi sosok paling 'waras' dalam setiap cerita, Suryana Fatah alias Koh Holiang adalah sosok etnis Tionghoa yang tak mau kalah, Wawa Sofyan alias mas Sastro menjadi kaum abangan Jawa yang sedikit pongah, terakhir ada Ujang lagi-lagi orang Sunda yang sekadar pelengkap dan pemberi umpan lucu.
Di era 80-an kaset lawak memang bukan barang yang langka. Selain TVRI dan berbagai pentas, eksistensi kelompok lawak banyak ditopang oleh penjualan kaset rekaman berupa lawakan dan lagu-lagu mereka. Selain De Kabayan ada Surya Grup, Warung Kopi (Warkop) Prambors, Jayakarta Grup, Pancaran Sinar Petromaks, hingga Sersan Prambors.
Kang Ibing ini juga memiliki profesi sebagai bintang film, penyiar radio sekaligus penceramah. Menurut cerita, asal usul nama Ibing alasannya adalah karena Kang Ibing yang pada saat itu penyiar radio Mara merupakan penggemar artis Bing Slamet. Kemudian diambilah kata “Bing” dan ditambah dengan huruf “I” agar tidak sama, sehingga menjadi “Ibing”. Sebagai pelengkapnya, digunakan kata “Kang” yang juga berfungsi sebagai panggilan terhadap orang yang lebih tua, khususnya di daerah Parahiyangan. Dengan demikian, jadilah panggilan “Kang Ibing” yang melekat dan lebih dikenal oleh masyarat Sunda khususnya, dan masyarakat Indonesia umumnya. Kebetulan juga, ia memang gemar pada gerakan ibing penca, jadi sangat sesuai menggunakan panggilan “Kang Ibing”.
Kang Ibing kerap tampil lengkap dengan sarung tersampir di pundak dan peci yang menjadi ciri khasnya. Sukses di dunia lawak, ia juga beberapa kali ikut terlibat dalam berbagai film, seperti :
1. Di Sana Senang Di Sini Senang pada tahun 1990
2. Warisan Terlarang 1990
3. Komar Si Glen Kemon Mudik pada tahun 1990
4. Boss Carmad pada tahun 1990
5. Si Kabayan dan Gadis Kota pada tahun 1989
6. Bang Kojak pada tahun 1977
7. Ateng The Godfather pada tahun 1976
8. Si Kabayan pada tahun 1975
Di luar kesibukannya di dunia seni dan hiburan, beliau juga dikenal sebagai pendakwah yang kerap memberikan ceramah di sejumlah tempat, sekalipun ke pelosok-pelosok daerah di tanah air.
Si Kabayan
Kang Ibing mengokohkan posisinya sebagai ikon Orang Sunda di panggung Nasional setelah membintangi filem garapan sutradara Sofyan Sharna, Si Kabayan, tahun 1975. Di situ Kang Ibing memainkan karakter utama, si Kabayan—tokoh dalam saga Sunda yang oleh banyak orang Sunda dianggap sakral. Kang Ibing sendiri dalam sebuah kesempatan mengakui “kesakralan” itu, dan mengatakan bahwa ia sempat merasa gamang ketika diminta untuk memainkan perannya itu. Filemnya sendiri sebenarnya digarap dengan sentuhan populer, yang barangkali oleh sementara kritikus dari kalangan budayawan Sunda yang mengharapkan interpretasi saksama atas tokoh ini akan dinilai reduksionistis. Namun demikian, permainan Kang Ibing dalam filem tersebut sepertinya dinilai baik. Bahkan, kehadirannya cukup fenomenal dan begitu impresif sehingga bagi masyarakat luas—terutama dari kalangan non-Sunda—tokoh si Kabayan yang diperankan Kang Ibing itu menjadi semacam eksponen emblematis yang merepresentasikan karakter orang Sunda. Hal ini kemudian memunculkan problematika baru.
Bagi sebagian orang Sunda, mengidentikkan Orang Sunda dengan si Kabayan dirasakan menyinggung, bahkan mengolok-olok. Barangkali bukan tanpa alasan. Dalam berbagai okurensi, baik itu dalam bentuk wacana dalam forum-forum formal, tayangan media (terutama televisi), maupun sekadar obrolan warung kopi, bila ditampilkan sebuah karakter dengan rujukan identitas yang cukup kental kepada Orang Sunda dengan kesundaannya, maka yang muncul adalah sebuah sosok dengan suntikan fitur dari sifat-sifat si Kabayan—dengan dosis beragam, dari yang sebatas idiosyncrasies kecil yang sangat wajar sampai manifestasi personal yang gamblang si Kabayan dalam bentuk yang cenderung karikatural. Dalam hal ujung spektrum yang kedua, yang mendapat penekanan adalah sifat si Kabayan yang lugu, polos, kampung, easy-going, tak serius, pemalas, mediocre, tanpa motivasi dan ambisi, meskipun jujur dan tetap lucu.
Boleh jadi, si penyodor personifikasi si Kabayan itu menampilkan hal tersebut bukan dengan niat untuk menyinggung atau mengolok-olok. Barangkali stereotyping itu datang semata-mata dari kurangnya riset yang mendalam dan sungguh-sungguh, atau bahkan bisa saja justru dari penghormatan yang tulus kepada keunikan karakter si Kabayan sendiri. Namun demikian, tetap saja cukup banyak orang Sunda yang merasa tidak nyaman dengan hal itu—ketidaknyamanan yang mungkin mirip dengan yang dirasakan oleh kalangan muda kulit hitam di Amerika di tahun 1960-an ketika musik blues—yang menjadi la chose à la mode bagi dan digandrungi oleh orang-orang kulit putih—diatribusikan kepada mereka. Seperti halnya kaum muda kulit hitam di Amerika pada era yang hectic, gegap-gempita, dan penuh warna itu, yang lebih memilih musik soul yang ceria dan optimistis ketimbang musik blues yang muram dan pesimistis, yang memuja Martin Luther King, Malcolm X, dan Muhammad Ali, dan yang merindukan sosok Orang Kulit Hitam yang tampil di panggung Nasional yang dapat memberikan inspirasi bagi mereka untuk mendaki tangga sosial, cukup banyak orang Sunda yang lebih menyukai interpretasi kultural terhadap kesundaan yang lebih optimistis, beretika kerja, intelek, terberdayakan oleh pencerahan, dan sedikit ambisius, yang dianggap lebih sesuai dengan Zeitgeist di kekinian di dunia yang bukan saja makin sarat dengan persaingan, tetapi juga makin gaduh karena setiap individu, setiap kelompok, setiap entitas sosial, seolah berteriak lantang untuk menyatakan bahwa mereka ada. Banyak orang Sunda yang mendambakan lahirnya kembali Otto Iskandardinata, Ir. H. Djuanda, atau R. E. Martadinata baru.
Sementara itu, si Kabayan tetap luput dari uluran batin pemahaman. Di antara penyederhanaan karakter yang cenderung dangkal dan tanpa disadari berpotensi untuk menyinggung dan mengolok-olok, dan pernyataan sikap ketersinggungan sebagian orang Sunda yang cenderung reaktif dan kehilangan perspektif serta marwah budaya Sunda untuk “naliti nastiti, landung kandungan, laér aisan, masing asak-asak nénjo,” si Kabayan terdesak ke dalam tragedinya sendiri yang ironis—ibarat piramid ber-hieroglif yang terkubur oleh timbunan batu Rosetta. Si Kabayan terjepit di antara kabayanisasi dan antikabayanisme.
Ketika manusia merindukan hadirnya sesosok figur untuk merepresentasikan dirinya atau kaumnya, pada dasarnya manusia juga—setidaknya sampai derajat tertentu—mendambakan seseorang untuk dipuja. Sehatkah itu? Untuk memberikan jawaban “ya” atau “tidak” kepada pertanyaan itu kita bisa berdebat. Tetapi, Fédor Mikhaìlovitch Dostoìevsky mengatakana bahwa seperti itulah kondisi manusia itu adanya. “Selama manusia itu bebas,” tulis Dostoìevsky dalam novelnya, The Brothers Karamazov, “tidak ada yang lebih diperjuangkannya dengan begitu tak kenal lelah dan dengan begitu menyakitkan, selain menemukan seseorang untuk dipuja.” Anggaplah Dostoìevsky benar, dan misalkan si Kabayan adalah benar-benar seseorang—dalam pengertian bahwa ia adalah tokoh sejarah yang riil, bukan sekadar mitos—pantaskah bila ia dipuja? Jawabannya barangkali adalah, “kenapa tidak?” Sejarah tidak hanya mencatat Alexander yang di usianya yang ke-18 sudah menjadi panglima perang pasukan Macedonia mewarisi tahta ayahnya, Philip, dan yang ketika menjelang ajalnya di usianya yang ke-26, wilayah taklukannya membentang dari Mesir hingga perbatasan Afghanistan, tetapi sejarah juga mencatat Diogenes, yang ketika ia, dengan pakaian yang lusuh dan compang-camping, tengah nongkrong berjemur di bawah sinar matahari, kemudian Alexander menyapanya dan menanyakan adakah yang dibutuhkannya, ia menjawab, “Ya. Tolong minggir. Anda menghalangi matahari.”
Seperti halnya alegori dalam novel The Brothers Karamazov, representasi “ideal” yang dicari orang Sunda mungkin adalah sosok manusia utuh yang merupakan produk dari pergulatan dua belahan karakter yang bertentangan—hanya saja, dalam hal ini, dengan dikotomisasi yang berbeda: bukan “baik” versus “buruk,” melainkan “konstruktif” versus “dekonstruktif.” Pada kubu konstruktif kita mengenali karakter yang giat, gigih, berdaya juang, terencana, terkonsep, tersistematisasi, terstruktur, rapi, efisien, berpakem, teramalkan, kuat, persisten, tenacious, ambisius, utilitarian, finalistis, sedikit intoleran, berorientasi kekuasaan. Pada kubu dekonstruktif: rileks, lay-back, merenung, lirih, spontan, acak, kreatif, penuh kejutan, peka, kritis, menggugat konsep, anti-kemapanan, mengalir, sedikit amburadul, kadang urakan, toleran, jujur, sederhana, apresiatif, berorientasi kebaikan. Si Kabayan berada di kubu kedua.
Kang Ibing benar, bukanlah si Kabayan yang pantas dijadikan representasi ikonis Orang Sunda—Si Kabayan hanya separuh Orang Sunda—melainkan si Tukang Peuyeum. Di dalam dirinya, kita menemukan bahwa dialektika konstruktif-dekonstruktif, Alexander-Diogenes, analitis-gestalt, dalam pergulatan batinnya, muncul sebagai personal traits yang membentuk karakternya yang jembar. Ia memandang hidup sebagai sebuah tanggung jawab, tetapi juga sekaligus sebuah permainan. Ia berjalan dan bekerja, tetapi juga sekaligus menyanyi dan menari. Ia mengenali logika perencanaan dan kendali, tetapi juga sekaligus membuka mata, pikiran, dan hati untuk ketidakpastian dan misteri. Ia menyapa Tuhan. Ia menerima hidup—dengan takdir dan finalitasnya yang menampar—dengan tegar, bahkan bersyukur. Ia berkata “ya!” kepada hidup dengan tegas, bahkan penuh gelora—suatu sikap yang oleh Goenawan Mohamad dalam catatannya untuk dan dalam sebuah buku yang mengulas Nietzsche (sebagai emphasizing interpretation yang menggarisbawahi istilah yang dipopulerkan oleh Nietzsche) disebut “amor fati”: “cinta kepada takdir.”
Akan tetapi, bukankah itu adalah ciri karakter yang tidak spesifik untuk atau hanya dimiliki oleh orang Sunda? Apa boleh buat, itu adalah konsekuensi dari keinginan akan representasi citrawi yang merujuk kepada apa-apa yang baik, karena kebaikan itu universal. Dan barangkali itu tidak menjadi soal.
Tantangan yang lebih penting untuk dijawab adalah bagaimana menjadi bangga sebagai orang Sunda dan dengan kesundaan tanpa terjebak ke dalam etnosentrisme sempit atau fanatisme buta. Kecenderungan kepada primordialisme dan bigotry ada di mana saja pada siapa saja di kelompok manusia yang mana saja. Sejak awalnya, barangkali, itu adalah fitur inheren manusia yang pada level individu ada kaitannya dengan mekanisme pertahanan diri—yang oleh Daniel Goleman dalam bukunya, Emotional Intelligence, bahkan dikaitkan dengan organ anatomis dan proses fisiologis pada otak manusia. Goleman menyebut reaksi yang dihasilkan dari gejala ini sebagai respon “resist or retreat” ketika manusia berhadapan dengan sesuatu yang asing yang berada di luar dirinya. Orang Sunda tentu tidak bisa dikecualikan. Boleh jadi, bahkan, ada orang Sunda yang masih meratapi kematian Dyah Pitaloka dan menyimpan luka dan dendam Perang Bubat.
Namun demikian, seperti halnya naluri manusia yang tidak hanya bisa menghadirkan bencana tetapi juga rahmat, akal manusia juga tidak hanya bisa menciptakan kesombongan peradaban tetapi juga kearifan budaya. Dalam budaya Sunda, misalnya, kearifan itu tampak pada dualisme makna atau ambiguitas semantik kata “batur.” Dalam bahasa Sunda, kata “batur” bisa berarti “orang lain,” bisa juga berarti “sahabat.” (Kata dalam bahasa Sunda untuk “teman” adalah “babaturan,” yang mungkin bisa diartikan sebagai replika dari “batur.”) Jadi, “imah batur” berarti “rumah orang lain,” tetapi “batur keueung” berarti “sahabat pelipur rasa getir dan ketakutan dalam kesepian atau kesendirian.” Dalam frase “akur jeung batur salembur” (“hidup rukun dengan ‘batur’ sekampung”), kata batur menjadi ambigu, dan hasilnya adalah sebuah petunjuk sikap bijak di dalam menghadapi realitas kebersamaan dan perbedaan. Meskipun barangkali tidak sedalam dan se-elaborate altruisme ekstrem ala Emmanuel Levinas, dalam prakteknya, sikap bijak ini bisa menghasilkan kebaikan yang menyentuh hati. Bila “orang lain”—sesuatu yang asing, yang berada di luar diri seorang manusia, yang bisa saja mengancam, yang sering harus dilawan atau dihindari—dipandang sebagai “sahabat,” maka di situ ditunjukkan jiwa besar. Dan bila sikap ini dihayati dan dipraktekkan oleh banyak orang, maka yang dihasilkan adalah inklusivisme yang merangkul dan meneguhkan. Inilah barangkali yang membuat Sam Ratulangi yang adalah orang Minahasa merasa terpanggil untuk dengan demikian gigihnya memperjuangkan kepentingan orang-orang Sunda ketika ia menjadi anggota Gemeenteraad di Bandung di tahun 1923—sampai-sampai seorang Belanda merasa perlu untuk “mengingatkan” dengan mengatakan, “Dr. Ratulangi is geen Sundanees” (“Dr. Ratulangi bukan orang Sunda”). Ini juga barangkali yang membuat Himawan Sutanto, mantan Panglima Kodam Siliwangi, menceritakan dengan haru pengalaman masa mudanya ketika, dalam sebuah operasi di pedesaan, ia mendapat kiriman makanan dari penduduk setempat dengan pesan, “kanggo urang Jawa anu bageur” (“buat orang Jawa yang baik hati”).
Kang Ibing juga menunjukkan sikap itu. Dalam dua kesempatan terpisah, Kang Ibing menyebut dua orang pelawak yang dikagumi dan dihormatinya. Untuk yang dikagumi, Kang Ibing menyebut Bing Slamet; untuk yang dihormati, Kang Ibing menyebut Ateng. Dua-duanya bukan orang Sunda. Dari nama “Bing Slamet”-lah, Kang Ibing, yang bernama asli R. Aang Kusmayatna Kusumadinata itu, mengambil nama “Ibing” sebagai nama bekennya. Sedangkan Ateng, yang bersamanya Kang Ibing bermain dalam filem garapan sutradara Ahmad Jamal, Ateng the Godfather, tahun 1976, turut membawa Kang Ibing ke panggung popularitas di tingkat nasional. Persahabatan mereka bertahan hingga wafatnya Ateng.
Sunda Kang Ibing memang bukan Sunda yang ditumbuhkan dari benih eksklusivisme chauvinistic dan dipupuk oleh prasangka-prasangka primordial, bukan juga Sunda yang diikat, dipagari, diberi label, untuk kemudian dikendarai dalam upaya menggapai tujuan-tujuan kekuasaan dalam kerangka politik kepentingan. Sunda Kang Ibing adalah Sunda yang semata-mata mewujud dari keniscayaan bahwa setiap individu terlahir di suatu tempat dan kepada sebuah komunitas—serta rasa cinta yang tumbuh sebagai respon terhadapnya yang merupakan konsekuensi dari fitrah manusia. Kang Ibing merasakan bahwa sebagai orang Sunda, tidak saja ia menjadi bagian dari komunitas orang Sunda, tetapi juga bahwa komunitas orang Sunda—dengan budayanya, kecenderungan-kecenderungannya, modus-modus eksistensinya—telah menjadi bagian dari dirinya. Dalam kata-kata José Ortega y Gasset, “Yo soy yo y mi circunstancia, y si no la salvo a ella no me salvo yo.” (“Aku adalah aku ditambah sekelilingku, dan bila aku tidak dapat mempertahankan apa yang melingkungiku, maka aku tidak dapat mempertahankan diriku.”)
Kini Kang Ibing telah tiada. Lengkap sudah perjalanan hidupnya. Ia barangkali memang bukan orang kuat dengan pencapaian-pencapaian yang hebat. Selain itu, seperti halnya kita semua, ia juga seorang manusia biasa dengan segala kekurangan, keterbatasan, kelemahan, kesalahan, ego, bias, dan miskonsepsinya. Kang Ibing menjadi istimewa bukan karena ia mempunyai akhlak yang sempurna tanpa cela, bukan pula karena ia mempunyai watak yang luar biasa dan kapabilitas yang mumpuni yang ditunjukkan dengan kepemimpinannya dalam proyek perubahan besar dalam masyarakat yang menentukan wajah sejarah. Justru kontras dari itu: Kang Ibing menjadi istimewa karena ia membangkitkan inspirasi bagi kita untuk berkaca dan melihat ke dalam, dan meneliti kembali hal-hal kecil dalam hidup untuk kemudian menyadarinya sebagai anugerah. Ia mendorong kita untuk membuat setiap saat dalam hidup itu bermakna, serta menghayatinya sebagai berkah yang patut disyukuri. Kang Ibing mengajak kita untuk berkata seperti halnya tokoh Jack Dawson yang diperankan oleh Leonardo DiCaprio dalam filem Titanic berkata, “ … I figure life’s a gift, and I don’t intend on wasting it. You don’t know what hand you’re gonna get dealt next. You learn to take life as it comes at you—to make each day count.”
Dan bila selama ini kita beranggapan bahwa kemuliaan itu hanya kita dapati di dalam diri seorang ilmuwan, misalnya, yang mendedikasikan kerja keras, kepiawaian, dan kejeniusannya untuk mencari pemahaman terhadap dunia agar umat manusia bisa menarik manfaat darinya, atau di dalam diri seorang negarawan, misalnya, yang mendedikasikan kharisma, kapabilitas, dan kompetensinya untuk mencari konsep dan praktek berbangsa bernegara yang baik dan efektif agar rakyat dapat hidup aman sejahtera, maka Kang Ibing mengajarkan kepada kita bahwa kemuliaan juga ada di dalam diri Kang Maman yang mendedikasikan hidupnya untuk mencari si Gadis Jujur.






DetikBandung
Dikenal sebagai seniman Sunda yang konsisten di profesinya, membuat Wali Kota Dada Rosada terketuk hatinya. Rencananya, Kang Ibing bakal diberi penghargaan khusus sebagai salah seorang seniman atau tokoh berpengaruh di Bandung.
"Kalau penghargaan pasti kita berikan untuk Kang Ibing," ujar Dada kepada wartawan, di rumah duka, Jumat (20/8/2010).

Untuk penghargaan tersebut, Dada mengaku masih harus membicarakannya dengan DPRD Kota Bandung. Sebab, hal itu tentu harus mendapat persetujuan dari para wakil rakyat.
Di luar itu, kata Dada, Pemkot Bandung selalu memberikan penghargaan tiap tahunnya kepada tokoh, seniman, maupun budayawan yang memiliki kontribusi positif bagi Kota Kembang.
"Setiap ulang tahun Bandung, kita selalu berikan penghargaan bagi mereka yang banyak membantu Bandung di bidang apapun. Ya, Kang Ibing termasuk salah seorang yang banyak membantu Pemkot Bandung," paparnya.
Dada mengaku sering bertemu di Balai Kota Bandung. "Terakhir, dia membantu saya untuk membuat taman dan mengajukan biayanya," katanya.

Rencananya, taman yang berlokasi tidak jauh dari rumah Kang Ibing itu akan diresmikan Dada dan almarhum. Taman itu rencananya dinamakan 'Taman Wangi Dewata' yang artinya 'Taman Wangi Dengan Dada Wali Kota'.

Saat disinggung apakah taman tersebut akan diganti namanya menjadi 'Taman Kang Ibing', Dada menyerahkan sepenuhnya pada masyarakat sekitar. "Tergantung warga di sini apakah mau seperti itu atau bagaimana," ungkapnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar