Kamis, 05 April 2012

coretan diro

Masih teringat jelas bayang-bayang anakku melekat di daun pintu sore itu. Tempat ia bersandar menanti papanya pulang. Papa yang juga suami tercintaku.

Pensil yg selalu dipakainya mencorat-coret pintu, aku simpan rapi di lemari kaca meja belajarnya. Kadang anakku suka mengambilnya untuk mencurat-coret dinding ruang tamu.
Aku tidak marah, dan tidak akan pernah marah atas tingkah nakalnya. "Silahkan saja kamu berkreasi, apapun medianya." Aku yakin anakku punya bakat untuk menjadi seorang pelukis atau penulis.
Akan aku simpan rapih keriangannya bersama pensil ini di lemari kaca itu.

mataku tidak pernah bisa membendung bening kerinduan ini padanya. Setiap melihat teman bermainnya dulu yang kini dia sudah mewujudkan cita-citanya menjadi seorang dokter. Wajah anakku selalu hadir di wajah temannya itu. Aku bisa membayangkan anakku memakai seragam tentara yang selalu di cita-citakannya dulu. Gagah, berdada bidang, seperti suamiku.
"Mama kenapa nangis?" Tiba-tiba terdengar suara anak kecil yang tidak asing di telingaku. Mataku terbeliak menatap bocah yang ada disampingku.

"DIRO???"
Aku usap deraian di pipi basahku. Aku tersenyum melihatnya begitu juga Anakku, ia tersenyum lebar menatapku. Ia menunjukan barang yang dibawanya.

Seketika aku mengalihkan pandangan pada sebuah lemari kaca di pojok kamar anakku. Sebentar. Aku memejamkan mata sejenak, "diro simpan pensilnya, kamu harusnya sudah dewasa seperti Aldo temanmu itu. Orang dewasa sudah tidak curat-coret dinding rumah." Sesalku. Ya, anakku bernama Diro. Umurnya sudah menginjak 25 tahun. Aku baru ingat, hari ini adalah hari ulang tahunnya.

Nampaknya ucapanku kali ini tidak bisa dikatakan tepat untuk diterima Diro. Perasaannya masih lunak. Anakku menunduk lesu, ia beranjak mengembalikan pensilnya ke lemari kaca. Aku menatap lunglai langkah kecewanya. Tangannya yang mungil mengepal lemah terlihat memukul-mukul pelan dinding sambil berjalan ke arah pintu keluar rumah.

"Diro mau kemana?" Tanyaku setengah teriak, "ibu becanda kok, silahkan aja corat-coret lagi dindingnya. Kamu jangan pergi dulu nak."

Diam.
Tidak ada jawaban dari anakku.
Aku hanya menatap lemas membuntuti bayangan diro dari depan kamarnya. Menyesal. Diro masih menunduk tanpa menoleh ke arahku. Langkahnya semakin menjauh mendekati pintu keluar rumah.

Tiba-tiba dari luar datang seorang bapak-bapak muda tampan berbaju kantoran seperti mau menyambut kesedihan diro, memberikan perlindungan kepada anakku. Dia mengais pelan tubuh anakku yang mungil. Senyum diro mengembang kembali. Mungkin ia sudah mengabaikan kekecewaannya terhadapku.
Batinku semakin tidak kuasa menerima kenyataan ini. Dua orang yang sangat aku sayang berada tepat didepan pintu rumah. Badanku tiba-tiba melemah. Lantai keramik tua berdegup ketika lututku jatuh terhempas bersama bulir air mata melayang jatuh di atasnya. "Mama, papa pergi dulu. diro baik-baik kok sama papa. Jaga diri baik-baik ya." Pesannya. Lelaki itu. Lelaki yang menjadi suamiku masih sangat terlihat muda. Tidak berubah seperti waktu terakhir dia membenamkan ciuman di rambutku dulu.
Aku semakin tidak kuasa menahan kepedihan ini. Pipiku basah. Air mataku pecah. Begitu deras berderai di pipiku. Aku pejamkan mata ini begitu lama. Mengingat suami dan anakku sesaat sebelum mereka pergi untuk selamanya.

Anakku dengan riangnya menyambut papanya pulang dari kantor sore itu. Tepat disamping daun jendela pintu rumahku. Masih terasa rengekannya mengaung ketika melihat papanya tidak membawa peralatan menggambar yang dipesannya waktu pagi di hari itu. Belum sempat menginjak rumah, suamiku langsung pergi lagi bersama diro. Bermaksud membeli peralatan menggambarnya diro di salah satu supermarket di daerahku.
Sore itu memang sudah gelap. Mendung memayungi atap rumah kami. Papa melajukan motor vespanya dengan kencang. Mungkin karena takut kehujanan di jalan juga. Diro terlihat senang waktu itu. Dia berdiri di bagian depan vespa membelakangi papanya yang menjadi supir.

Kekhawatiranku waktu itu terjawab sudah. Selang dua jam aku mendapati kabar papa dan diro meragang di kamar mayat salah satu rumah sakit. Batinku meledak. Kesedihan memenuhi rongga dadaku yang teramat sesak waktu itu. Tenggorokanku terasa perih sekali. Semuanya terasa gelap dan menyempit sesaat sebelum aku terjatuh pingsan.


Kini Sudah 19 tahun aku hidup dalam kesendirian. Menikmati segala kerinduan kepada mereka. Mataku tidak pernah mengering untuk dua orang yang layak aku perjuangkan cintanya. Sampai sekarang. Anakku Diro dan suamiku. Aku berjanji akan menyimpan cinta ini baik-baik. Seperti pensil Diro yang selalu tersimpan rapi di lemari kaca meja belajarnya itu. Tangisku adalah keseharianku bersama bayang, bersama pensil dan coretan di dinding.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar